Jumat, 15 Februari 2013

PUNK vs SATPOL KEPLE+MASSA MAINSTREAM

 

SATPOL KEPLE GARUK CAH PUNK


(BANJARNEGARA) - Satpol PP, Selasa pagi (01/06), merazia 9 anak-anak punk yang tengah pulas tertidur di lapak-lapak pedagang yang diparkir secara liar di bahu jalan Kapten P Tendean, ruas jalan sebelah timur Lembaga Pemasyarakatan. Razia ini didasarkan oleh aduan masyarakat yang merasa terganggu dengan tingkah polah mereka yang tidur bergerombol di sembarang tempat serta terlihat oleh masyarakat yang lalu lalang. “Masyarakat belum dapat menerima gaya hidup dan penampilan komunitas punk yang kumuh serta bebas” kata Kasatpol PP Gatot Yahya Setyadi, B. Sc. di kantornya.

Data Satpol PP menyebutkan ke sembilan anak-anak punk yang berusia antara 18 - 22 tahunan yang diberi pembinaan pagi tersebut berasal dari seputar Jabodetabek 6 orang dan dari Banjarnegara 3 orang anak. “Yang dari Banjarnegara berasal dari Krandegan, Gemiwang dan Badamita” katanya.

Berkait dengan razia punk ini, Gatot menyatakan alasan dilakukannya razia selain masukan dari masyarakat juga aduan para pedagang dan pembeli makanan di seputar alun-alun yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan komunitas punk ini. “Pedagang beralasan penampilan mereka waktu ngamen membuat pembeli merasa tidak nyaman. Sehingga mereka khawatir langganannya akan lari” katanya.

Menurut Pardi, salah satu pedagang kaki lima di lingkungan alun-alun, kelompok punk yang keberadaannya sudah cukup lama kurang lebih sekitar tiga tahunan mewarnai alun-alun Banjarnegara ini, memang menjadi warna tersendiri di lingkungan alun-alun karena penampilan dan gaya hidup mereka. “Kalau pas cuaca malam terang seringkali mereka tiduran di ruang terbuka utara patung dawet. Bergeletakan begitu saja” katanya.

Ia membenarkan bahwa anak-anak punk ini seringkali membuat tidak nyaman pedagang dan pembeli karena gaya dan penampilan mereka saat ngamen. “Kan enggak enak mas. Lagi makan tiba-tiba ada orang dengan pakaian kumuh dan terkesan kotor itu main selonong ke sana ke mari di antara pembeli. Rasanya makan kita jadi gimana gitu….” katanya.

Gunadi, warga Kalipalet, Kutabanjarnegara, yang berkantor di seputar alun-alun secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keberadaan komunitas punk. Menurutnya, budaya punk ini tidak cocok untuk masyarakat Banjarnegara. Penampilannya yang berkelompok, selalu bermarkas di pusat kota yaitu alun-alun, ditambah lagi dandanannya yang khas kumuh dan dekil, katanya, membuat wajah kota Banjarnegara terlihat kurang asri. “Rasa-rasanya tidak pas dengan predikat Banjarnegara sebagai kota adipura” katanya.

Ia menambahkan gaya hidup mereka yang tidur bersama di sembarang tempat dan dalam satu kelompok yang seringkali di dalamnya juga ada anak perempuan dirasakan tidak pantas untuk dilihat. Apalagi, lanjutnya, seringkali mereka masih tertidur pulas ketika anak-anak sekolah dan orang-orang kantor yang sedang berangkat kerja lalu lalang di dekat mereka. “Menganggu. Dan saya rasa hal seperti ini patut untuk mendapatkan perhatian tersendiri” urainya.

Sementara itu, menurut Rizal, anggota punk dari Bekasi yang pagi itu ikut terkena razia beralasan mereka kemalaman setelah mengikuti acara punk di Temanggung. Karena mencari rumah teman tidak ketemu, ya terpaksa tidur sembarang aja. Bagi mereka hal tersebut tak menjadi masalah, toh mereka tidak mengganggu orang lain. Ia tidak mau kalau dikatakan kelompoknya mengganggu masyarakat karena mereka merasa tidak melakukan suatu tindak kejahatan, misalnya mencuri dan sebagainya. “Tampang kami memang kumuh, dekil dan bertampang khas, tapi hati kami baik. Kami tidak mencuri” katanya. (**--ekobr)


SUMBER ; http://www2.banjarnegarakab.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar